Tabik!
Seorang kawan lama menelpon saya. Tanpa ragu saya terima telponnya. Dia
menanyakan apakah saya masih menjual bebek karkas? Saya bilang masih.
Selanjutnya dia minta informasi lebih detil. Oleh karena dia ingin ada
pertemuan dengan calon pembeli bebek.
Kawan saya ini mengetahui kalau saya menjual bebek potong untuk restoran. Sebelumnya saya pernah minta dia untuk mencarikan
pembeli. Tapi itu sudah lama sekali. Waktu awal-awal saya menjual bebek. Ternyata sampai sekarang dia masih ingat hal itu.
Saya
katakan kepada kawan saya. Harga bebek yang saya jual mengalami
kenaikan di awal tahun 2014. Jadi begini ceritanya.
Suplier saya kirim daftar harga terbaru via email. Setelah saya cek
ternyata ada kenaikan harga. Dia pun menelpon saya. Memberikan
penjelasan. Harga dinaikan karena butuh modal awal cukup besar. Modal
itu digunakan untuk menanam modal di peternak binaannya.
Supaya peternak tersebut tidak menjual bebeknya ke suplier lain. Ini
dilakukan untuk mendapat kepastian stok bebek. Saya mendengar sambil
manggut-manggut.
Terus
terang. Dengan harga yang belum naik saja rasanya susah menawarkan ke
pembeli. Suplier saya pun berbagi cerita tentang
hal ini. Begini ceritanya. Beberapa waktu yang lalu dia baru saja
ketemu dengan pemilik restoran bebek yang memiliki cabang di berbagai
kota dengan sistem
franchise. Tapi uniknya, dia tidak bernegosiasi dengan pemilik restoran, melainkan dengan bagian penerima barang,
purchasing. Dan dia mendapatkan harga di atas yang pernah saya jual. Saya bertanya, kok bisa?
Dia
bercerita lagi. Selama ini saya tidak bisa dapat harga tinggi karena
bernegosiasi langsung dengan pemilik restoran.
Jelas saja yang namanya pemilik pasti ingin untung besar. Ini bisa
dilakukan dengan – salah satunya – menekan harga suplai bebek ke
restoran semurah-murahnya. Dia menyarankan untuk mencoba negosiasi ke
bagian
purchasing. Harga yang dimasukkan ke restoran dinaikan lagi. Nah, harga yang dinaikkan itu untuk orang
purchasing. Dengan begitu, kemungkinan besar kita bisa suplai bebek ke restoran tersebut.
Misalkan begini.
Harga jual bebek Rp. 38.000. Lalu, kita negosiasi ke bagian
purchasing. Kita tawarkan harga bebek ke restoran Rp. 40.000,- Untuk orang
purchasing kebagian fee Rp. 2.000,- per ekor.
Oo, mulut saya membulat. Mendengar penjelasan itu. Rasanya membingungkan. Kok bisa? Apakah pemilik restoran tidak mengetahui?
Beberapa suplier yang saya temui menyarankan saya supaya menjual ke pemilik restoran langsung,
end user. Jangan menjual ke suplier lagi. Nanti harga
jualnya rendah. Terlalu banyak orang di jalur distribusi. Kalau ke
pemilik restoran langsung bisa dapat harga tinggi. Hal ini saya lakukan.
Saya mencari pemilik
restoran langsung. Tapi pemilik restoran menawar harga bebek dengan
murah. Bagaimana ini?
Membingungkan bukan? Suplier saya bercerita kalau harga yang dia tawarkan ke restoran lebih tinggi dari harga pasar biasanya.
Dan itu bisa sukses melalui negosiasi dengan bagian
purchasing. Sedangkan saya menawarkan harga sesuai harga pasar,
bahkah lebih rendah lagi, langsung ke pemilik restoran. Hasilnya belum
sukses.
Ya sudahlah. Itu sudah jadi cerita. Meski harga bebek dinaikkan, saya tetap menawarkan ke calon pembeli. Saya bagi kriteria
bebek yang saya jual. Ada yang standar dan premium.
Begini,
masih ingat tulisan saya yang lalu tentang Pak Herman yang menawarkan
bebeknya untuk dijual? Ya, itu saya kategorikan
bebek standar karena dia tidak bisa menjamin ketersediaan bebek. Untuk
bebek premium bisa dikategorikan yang selalu ada stok bila ingin order.
Dan, hanya untuk pembeli langganan saja dengan jumlah order minimal 500
ekor sekali order. Tentu saja harga berbeda.
Bebek standar ya harganya standar. Untuk bebek premium juga harga
premium, bukan pertamax. Hehehe.
Sekian dulu tulisan saya. Bagi pebisnis bebek silakan order bebek.